Kamis, 22 Desember 2011

PENGARUH PENGARANG (ABU NAWAS) DALAM KARYANYA (PUISI LOVE IN BLOOM DAN PUISI TU’ATIBU-NI ’ALA SURBI STIBAHI)


MAKALAH

PENGARUH PENGARANG (ABU NAWAS) DALAM KARYANYA (PUISI LOVE IN BLOOM DAN PUISI TU’ATIBU-NI ’ALA SURBI STIBAHI)

Oleh: 

Desti Laela Setiawati 
(Neziala Elsa Raudhina) 




BAB I
PENDAHULUAN


A.     A. Latar Belakang dan Rumusan Masalah
1. Latar Belakang
Dunia sastra selalu jadi objek kajian yang menyeneangkan bagi kalangan kritikus sastra. Karena sastra ialah salah satu kajian yang di dalamnya terdapat sesuatu yang dinilai mempunyai nilai informasi, hiburan, motivasi, sejarah, dan lain sebagainya.

Begitu banyak karya sastra yang hingga sampai saat ini masih dirasakan ke-eksistensiannya oleh kita. Begitu banyak karyua sastra yang kita kenal, baik itu dari negeri kita sendiri, maupun dari berbagai negri lain.   Salah satu yang masih kita kenal hingga sekarang yaitu tokoh Abu Nawas yang di kenal dalam kesusastraan islamnya. Kemahsyurannya yang kita rasakan hingga saat ini begitu erat dan membuat Ia dekat dengan masyrakat,salah satunya masyarakat Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Setiap karya memiliki cirri khas tersendiri, baik itu pengaruh dari peradaban saat itu, kondisi masyarakat, wilayah, suasana, isi hati, budaya, pengarang, dan lain sebagainya.

Sebagaimana  kita ketahui, pengarang Abu Nawas yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Indonesia, memiliki latar belakang yang kontradiksi dengan ketenarannya yang menggugah banyak orang. Salah satunya yaitu ia merupakan seseorang yang banyak meakukan maksiat dan ia di juluki sebagai seseorang penyair pemabuk karena tema puisisnya, yang pada akhirnya ia menjadi sadar dan kembali pada kepatuhan pada Allah SWT.

Melihat kenyataan tersebut, pengaruh pengarang terhadap karya sastranya begitu besar. Karena biasanya pemikiran yang di tuangkan ke dalam karya sastra itu, hadir dari adanya pemikiran atau pengalaman jiwa penulis nya. Dan pernah Abu Nawas di tuding sebagai seorang penyair zindik dan  pendosa besar karena karyanya yang memuat tema seperti itu.

Dengan demikian kita mempunyai pertanyaan besar, sejauh mana penulis mempengaruhi karya sastranya atau sejauh mana karya tulis di pengaruhi pemikiran p[engarangnya.

B.       B.Tujuan

            Dengan mengetahui karya sastra yang biasanya dipengaruhi oleh pemikiran atau pengalaman pengarangnya, maka di harapkan kita bisa membatasi atau mengetahui permasalahan tersebut. Dan untuk menambah ilmu pengetahuan kita bahwa  karya sastra tidak selalu di latar belakangi oleh pemikiran atau pengalaman pengarangnya saja.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    A. Biografi Pengarang  

Abu Nawas merupakan salah seorang sastrawan terbesar. Pengaruhnya begitu besar di jagad sastra. Omar Kayyam dan Hafiz dua sastrawan Islam kondang juga banyak mendapat pengaruh dari Abu Nawas. Namanya semakin popular lantaran karikatur Abu Nawas dalam legenda 1001 malam. Dalam budaya Swahili  di Afrika Timur, nama Abu Nawas juga begitu popular sebagai ‘Abunuwasi”.
Karya-karya puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Beberapa di antaranya adalah O Tribe That Loves Boys yang dialihbahasakan oleh Hakim Bey dan diterbitkan Entimos Press pada 1993.

Bagi masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Mirip dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). 

Selain cerdik, Abu Nawas juga dikenal dengan kenyentrikkannya. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah dan kehidupan sejati, ia menemukan kehidupan rohaniahnya yang sejati meski penuh liku dan sangat mengharukan. Setelah mencapai tingkat spiritual yang cukup tinggi, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai penyair sufi yang tiada banding. 
            Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
                   Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman. Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa. 

                   Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).
                   Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

                   Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah menjadi religius. Kepongahan dan aroma kendi tuaknya meluntur, seiring dengan kepasrahannya kepada kekuasaan Allah. Syair-syairnya tentang pertobatan bisa dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi.
Sajak-sajak tobatnya bisa ditafsirkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Puisi serta syair yang diciptakannya menggambarkan perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah. Kehidupan rohaniahnya terbilang berliku dan mengharukan. Setelah 'menemukan' Allah, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Di akhir hayatnya, ia menjalani hidup zuhud. Seperti tahun kelahirannya yang tak jelas, tahun kematiannya terdapat beragam versi antara 806 M hingga 814 M. Ia dimakamkan di Syunizi, jantung Kota Baghdad.

Penyair khamar. Begitu Abu Nuwas dijuluki sebagian orang, karena dia mengangkat minuman haram sebagai tema puisinya. Dalam puisi khumrayat, ia menggambarkan kelezatan dan keburukannya, pemerasan, pengolahan, rasa, warna, dan baunya hingga para peminumnya. Menurutnya, khamar dapat menenangkan hatinya yang gundah.

Abu Nuwas juga sempat dituding sebagai penyair zindik atau pendosa besar gara-gara puisinya yang bertema mujuniyat  yang sering dianggap melampaui batas kesopanan dan merendahkan ajaran agama. Tak pernah ada kata terlambat untuk bertaubat. Itulah salah satu pelajaran penting yang diajarkan Abu Nuwas.

Masa mudanya memang diwarnai dengan gaya hidup yang berbau maksiat. Namun di masa tuanya, Abu Nuwas berubah menjadi seorang sufi. Penyesalan dan pertobatannya dia ungkapkan lewat puisi-puisinya yang bertema zuhdiyat (kehidupan zuhud). Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, di akhir hayat Abu Nawas mengisi kehidupannya dengan ibadah.

B.     B.Sinopsis Karya 
a.       Puisi “Love in Bloom”

I die of  love for him, perfect in every way,
Lost in the strains of wafting music.
My eyes are fixed upon his delightful body
And I do not wonder at his beauty.
His waist is a sapling, his face a moon,
And loveliness rolls off  his rosy cheek
I die of love for you, but keep this secret:
The tie that binds us is an unbreakable rope.
How much time did your creation take, O angel?
So what! All I want is to sing your praises.
(Love in Bloom; after Monteil, p. 95)


b.      Tu’atibu-ni ’ala Surbi Stibahi

A gentle fawn passed around the cup
Delicate of waist and slim of flank,
“Will you be on your way, come morn?” he chirped.
“How can we bear to leave?” came the reply.
He glided among us and made us drunk,
And we slept, but as the cock was about to crow
I made for him, my garments trailing, my ram ready for butting.
When I plunged my spear into him
He awoke as a wounded man awakes from his wounds.
“You were an easy kill,” said I, “so let’s have no reproaches.”
“You win, so take what you will, but give me fair reward.”
So after I had placed my saddle bag upon him he burst into song,
“Are you not the most generous rider ever, of all Allah’s creatures?”

(Tu’atibu-ni ’ala Surbi Stibahi; after Kennedy, p. 262)

C.     Batas Kajian

1.      Analisis karya dalam puisi Love in Bloom dan Tu’atibu-ni ‘ala Surbi Stibahi karya Abu Nawas. 
2.      Pengaruh pengarang terhadap karya sastra.

D.     Bedah Karya
1.      Analisis karya

a.       Puisi “Love in Bloom”

I die of  love for him, perfect in every way,
Lost in the strains of wafting music.
My eyes are fixed upon his delightful body
And I do not wonder at his beauty.
His waist is a sapling, his face a moon,
And loveliness rolls off  his rosy cheek
I die of love for you, but keep this secret:
The tie that binds us is an unbreakable rope.
How much time did your creation take, O angel?
So what! All I want is to sing your praises.
(Love in Bloom; after Monteil, p. 95)

Puisi tersebut merupakan puisi erotis yang romantic. Puisi ini merupakan puisi Abu Nawas yang pertama membicarakan kehidupan seorang Gay.

I die of love for him, perfect in every way

Dari stanza pertama kita dapat melihat ada sebuah kontradiksi, dapat kita lihat dari kata “I die of love for him” saya benar-benar cinta mati padanya (Dia laki-laki). Disini Abu Nawas menunjukan bahwa dia (laki-laki) mencintai laki-laki lagi dan ini dapat kita ungkap atau ambil point, dia adalah seorang Gay. “Perfect in every way” sempurna di setiap cara. Yang mana, bagi dia bahwa seorang laki-laki bisa membawanya merasakan kesempurnaan dalam segala hal dibanding perempuan.

Lost in the strains of wafting music.
My eyes are fixed upon his delightful body

Ketika itu, ia kehilangan kendali dan hanyut dalam ketegangan pembawa music. Ia seakan-akan hilang kendali dan tak dapat menahan gemuruh di dadanya. Matanya seakan ditekan (kabur) di atas tubuh-nya (Dia laki-laki) yang lezat (menyenangkan). Hal tersebut membuat ia terlunglai tak berdaya. 

And I do not wonder at his beauty.
His waist is a sapling, his face a moon,
And loveliness rolls off  his rosy cheek

Dan dia tidak begitu luar biasa pada keindahan (dia laki-laki). Dalam hal ini terlihat aneh sekali karena jarang penggunaan kata “beauty” diperuntukan untuk seorang laki-laki akan tetapi biasanya di peruntukan untuk seorang perempuan. Disini jelas sekali menunjukkan bahwa bagi seorang Gay yang memiliki perasaan yang kontradiksi dengan fitrahnya sebagai seorang laki-laki yang mencintai laki-laki.

Kemudian di stanza selanjutnya, ia menjelaskan bahwa pinggangnya yang seolah bentuk pohon, yang ramping, dan wajah laki-laki itu bagaikan bulan, dan kecintaanya terlihat dari mereah pipinya laki-laki yang ia cintai itu. Uraian tersebut begitu ia menggumkan di badapannya, dan seolah laki-laki itu benar-benar telah menyulap matanya begitu mempesona, begitu menarik, dan begitu membuat ia jatuh cinta. Dan sangat heran sekali kata-kata yang biasanya diperuntukkan untuk seorang perempuan di pakai untuk laki-laki.

I die of love for you, but keep this secret:
The tie that binds us is an unbreakable rope.
How much time did your creation take, O angel?
So what! All I want is to sing your praises.
(Love in Bloom; after Monteil, p. 95)


Dari stanza berikut, terdapat kelainan lagi, bahwa ia seolah-olah berbicara langsung dengan orang yang di tuju. Tetapi ia menekankan untuk menjaga rahasia nya. Dari hal ini dapat kita simpulkan bahwa kemungkinan besar ia sedang berbicara dengan  orang terdekatnya (kerabat, istri, saudara, dll) atau para pembaca yang mana hal itu seolah-olah hal yang harus di jaga dan di simpan rapi agar tak seorangpun mengetahuinya. Karena hal itu merupakan aib atau hal yang tidak baik untuk di kabarkan atau di sebarkan kepada orang lain.

Kemungkinan besar “You” disini dimaksudkan Istri, yang mana laki-laki tersebut merasakan bahwa seolah dasi itu mencekik mereka dengan sebuah tali yang tak dapat di patahkan. Mungkin, laki-laki tersebut merasa bahwa ia terjebak kepada jurang yang tak pernah ia harap sebelumnya, ia meminta istrinya untuk menjaga rahasia itu. Dan di stanza berikutnya, terdapat kalimat “angle” malaikat, dan “praises” hal tersebut menggambarkan dirinya yang sebenarnya tidak mau melakukan itu, namun dia kehilkangan arah dan seolah-olah menyesali perbuatannya. Terlihat dari ungkapan “ So What! All I want is to sing your praises”. Dan seolah-olah ia sadar dan ingin berdoa dan mendekatkan diri pada sang maha pencipta.  

                     
b.      Puisi Tu’atibu-ni ’ala Surbi Stibahi

A gentle fawn passed around the cup
Delicate of waist and slim of flank,
“Will you be on your way, come morn?” he chirped.
“How can we bear to leave?” came the reply.
He glided among us and made us drunk,
And we slept, but as the cock was about to crow
I made for him, my garments trailing, my ram ready for butting.
When I plunged my spear into him
He awoke as a wounded man awakes from his wounds.
“You were an easy kill,” said I, “so let’s have no reproaches.”
“You win, so take what you will, but give me fair reward.”
So after I had placed my saddle bag upon him he burst into song,
“Are you not the most generous rider ever, of all Allah’s creatures?”
(Tu’atibu-ni ’ala Surbi Stibahi; after Kennedy, p. 262)

Puisi di atas menceritakan sebuah percintaan (sex) yang dapat di bayar dengan uang. Disini percintaan (making love itu) di gambarkan dengan perburuan seekor rusa yang dengan gentle dan buasnya menerpa ayam jantan atau burung gagak. Dari kalimat itu dapat kita analisis bahwa “Rusa yang gentle” merupakan seorang laki-laki yang pemberani dan gagah, kemudian  “burung gagak atau ayam jantan” itu merupakan laki-laki pula. Dengan demikian bahwa Making love dalam cerita ini masih menceritakkan perbuatan percintaan seorang laki-laki dengan  laki-laki lagi.

When I plunged my spear into him
He awoke as a wounded man awakes from his wounds.
“You were an easy kill,” said I, “so let’s have no reproaches.”

Beberapa stanza diatas, menerangkan bahwa dia melakukannya ketika laki-laki buruannya itu tidur, ketika dia meloncatkan tombak terhadapnya, maka ia pun terbangun seperti seorang laki-laki yang terbangun oelh kesakitannya. Kemudia dia mengatakan kepada laki-laki itu, kamu merupakan seorang yang mudah untuk di bunuh. Kemudian laki-laki itu menjawab:

“You win, so take what you will, but give me fair reward”

Dari kalimat tersebut dapat diketahui, bahwa ia dinyatakan menang dalam permainan itu, sehingga ia menyarankan untuk mengambil apa yang ia mau, tetapi dengan syarat memberikan sebuah hadiah kepada laki-laki itu (ayam jantan). kata “hadiah” disana kemungkinan besar merupakan hadiah berbentuk barang atau uang. Dengan demikian kita bisa berkesimpulan bahwa perbuatan making love itu dilakukan oleh dia terhadap laki-laki yang sebenarnya secara paksa, tetapi akhirnya laki- laki itu terpaksa merelakannya dengan syarat ia membayarnya.

Di akhir bait puisi itu terdapat kalimat:
           
“Are you not the most generous rider ever, of all Allah’s creatures?”

Apakah kamu tidak pernah lebih bermuah hati penunggang, pada semua ciptaan Allah? Disini ada sebuah peringatan atau dakwah bahwa perbuatan yang dilakukannya begitu tak beradab, ia telah menganiaya ciptaan Allah yang tak berdaya.



2.      Pengaruh Pengarang Terhadap Karya Sastra.

Wellek and Warren said that biographic model was the oldest approach. Biographic approach is systematical study about creativity process. And creator or author considered as the origin literary works. From the case, we can give suggestion that literary works relatively means purpose, air, massage’s author. As a member of society, the author by himself more able to describe society where he life and life situation that really felt by him.

There were three kind of author, they are:
·       Author who make literary works by his experience
·       Author who make literary works by his ability to growing up story unsure.
·       Author who make literary works by his strong imagination.

Although like that, creativity process, in generally depend on collaboration between them. 

Dari teori Wellek dan Warren” tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa sebenarnya penulis dalam karya sastranya memiliki peranan yang cukup banyak dan ia dapat mempengaruhi isi dari karya sastra itu sendiri. Sebagaimana ia terangkan bahwa ada tiga unsure yang melatarbelakangi pengarang terhadap karyanya yaitu: pengalamannya, kemampuannya untuk mengembangkan unsur cerita, dan yang terakhir melalui kekuatan ia berimajinasi.

Melihat kedua puisi karya Abu Nawas dalam puisinya “love in Bloom dan        
Tu’atibu-ni ’ala Surbi Stibahi”, kita dapat melihat bahwa cerita tersebut seolah-olah hanya sekedar cerita orang-orang (masyarakat) yang berada semasa peradaban itu atau di zaman itu. Dan bisa saja sebagian orang beranggapan bahwa hal itu berdasar pada pengalaman atau pemikiran pengarang dalam menuangkan isi cerita.

Dari hal itu dapat kita analisis, bahwa tidak selamanya pengarang mengarang atau membuat cerita berdasarkan pengalamannya atau pemikirannya, akan tetapi bisa saja itu kekuatan pengarang (Abu Nawas) dalam membuat cerita.

Mengenai kebiasaan itu, bisa jadi karena background dari Abu Nawas yang ketika dahulunya merupakan seorang yang sering melakukan maksiat dan kini ia bertobat, dan barang kali kebiasaan itu menular di karya-karyanya.

Banyak diantaranya karya Abu Nawas yang memiliki tema mengenai sesuatu yang tidak enak di pandang atau sebuah cerita mengenai sesuatu yang penuh dosa, seperti halnya ia sering di juliki dengan “penyair khamar” Karena dia mengangkat tema minuman haram sebagai tema dalam puisisnya. Dan ia pun pernah dituduh sebagai penyair zindik atau pendosa besar gara-gara puisinya yang bertema mujuniyat -- yang sering dianggap melampaui batas kesopanan dan merendahkan ajaran agama. Tak pernah ada kata terlambat untuk bertaubat. Itulah salah satu pelajaran penting yang diajarkan Abu Nuwas.

Dalam realita itu, kebanyakan orang memiliki presfektifnya bahwa pengarang menentukan tema dalam karyanya berdasarkan pengalamannya, padahal boleh jadi itu hanya sekedar imajinasi saja. Dan kemungkinan seperti yang kita ketahui dalam riwayat hidup Abu Nawas, bahwa ia semasa mudanya diwarnai dengan gaya hidup yang berbau maksiat. Dan di masa tuanya ia baru bertobat dan lebih mendekatkan diri pada Allah. Dan hal itu mungkin saja yang mempengaruhi tema-tema karyanya, terutama puisinya
yang berbau maksiat, speerti making-love, Gay, khamar, dll.




BAB III
PENUTUP


Simpulan

Dari pembahasan atau analisis diatas dapat kita simpulkan bahwa pengarang memang biasanya mempengaruhi karya yang ditulisnya, dan tidak hanya itu kebiasaan orang-orang atau kondisi masyrakat pada saat itu bisa mempengaruhi pemikiran pengarang.

Dalam hal ini, kitapun tidak bisa meberi pemikiran bahwa pengarang hanya menuangkan apa yang pernah ia alami saja, akan tetapi pengarang pun dapat berimajinasi dan memainkan cerita sesuai dengan kehendaknya dan keinginannya dalam menulis cerita dan meskipun begitu, tentunya di balik semua itu terdapat pengaruh pengarang meskipun hanya sebagian kecil saja. Sehingga  dalam karya Abu Nawas pun yang keduanya mengusung tema erotic dan mengenai sex terhadap lawan jenis, bukan berarti Abu Nawas sendiri yang mempunyai pengalaman hal itu, akan tetapi ia dipengaruhi oleh social culture yag ada pada masa itu, atau Karena background dia yang merupakan seorang yang sering berbuat maksiat di masa mudanya, maka mungkin saja hal itu mempengaruhinya.  










DAFTAR PUSTAKA

Luxemburg, Jan Van, dkk. Pengantar Ilmu Sastra. 1992.Gramedia:Jakarta
Ratna, Nyoman Kutha. Teori,Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. 2009. Pustaka Belajar. Yogyakarta
Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.
www. taq/berbagai sum.com
www.gay-art-history.org/.../abu-nuwas.../abu-nuwas-gay-biography.html
http://antonefendy.blogspot.com/2009_03_01_archive.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar