Kompleksitas konteks sejarah –Sosial-budaya-politik dari karya-karya Sastra yang ada di berbagai wilayah Dunia Islam pada masa Modern Awal (Wilayah Afrika)
Sebagai salah satu produk budaya manusia, sastra dalam perkembangannya tentu senantiasa mengiringi perubahan dan perkembangan masyarakat pendukungnya. Kelahiran sastra di mana dan kapan pun berada tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pembacanya. Kebermaknaan sebuah karya sastra lahir akibat adanya resepsi dari pembaca. Masyarakat pembaca dalam hal ini akan bisa melakukan resepsi maupun apresiasi, bila karya sastra itu menampilkan sesuatu yang tidak jauh dan asing -untuk tidak mengatakan harus- dari kehidupan mereka, karena medium sastra, baik lisan atau tulis, adalah bahasa dan bahasa itu sendiri merupakan produk sosial. Tidaklah berlebihan, bila ada yang menyatakan bahwa karya sastra adalah sebuah “dokumen,” kesaksian tentang suasana hati dan pikiran masyarakat dan zaman penciptaannya ( Taufik Abdullah, 1991: 45). Dengan demikian, bila masyarakat pendukungnya selalu dalam proses evolusinya maka tidaklah bisa diandaikan bahwa karya sastra yang dilahirkan atau yang mengawalnya tidak mengalami evolusi perkembangannya.
Sastra tidak hanya berurusan dengan dunia pribadi sastrawan tetapi juga, dan pada dasarnya, berurusan dengan dunia sosial, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dalam dunia itu, dan sekaligus usahanya untuk senantiasa mengubahnya sehingga menjadi hunian yang lebih baik. Sastra adalah usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial itu: hubungan-hubungan keluarga, politik, agama, dan sebagainya. Ia juga menggarisbawahi peranannya dalam keluarga dan lembaga-lembaga lain, mengungkapkan konflik dan ketegangan antarkelompok dan antargolongan. Seperti halnya sosiologi, sastra sebenarnya berhubungan dengan tekstur sosial, ekonomi, dan politik. Namun, setidaknya sastra berbuat lebih dari itu dengan mengatasi sekedar deskripsi dan analisis obyektif dan ilmiah, dan masuk menyusup ke bawah permukaan kehidupan sosial untuk mengungkapkan cara-cara manusia menghayati masyarakatnya. Bahkan menurut seorang sosiolog lain, tanpa kesaksian sastra, pengamat masyarakat tidak akan mampu melihat sebaik-baiknya masyarakat secara utuh.
1. Mesir
Dalam sastra modern, Mesir dapat dikatakan sebagai pembuka jalan meskipun dari para sastrawan itu banyak yang berasal dari Libanon dan Suriah, mereka pindah ke Mesir untuk menyalurkan bakatnya.
Sesudah Perang Dunia I pemikiran-pemikiran intelektual di Mesir, Suriah, dan Irak semakin terasa. Dalam kesusastraan mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pada satu pihak pengarang-pengarang yang mempunyai latar belakang pendidikan Barat cenderung pada sastra Perancis dan pada pihak lain lebih cenderung pada sastra Inggris. Yang pertama diwakili oleh Muhammad Husein Haekal (1888-1956) selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal sebagai wartawan terkemuka dan pemikir, sedangkan yang kemudian dapat dikatakan diwakili oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad (1889-1973) dan Ibrahim al-Mazini (1890-1949).
Pada tahun 1990an di Mesir mengalami krisis bacaan, hampir tidak ada buku fiksi yang di baca, penerbit swasta saat itu tidak mau mencetak buku-buku fiksi. Pada masa ini, banyak di buka toko buku dan toko itu banyak dikunjungi oleh pengunjung. Dan ini menunjukkan bahwa di Mesir terdapat pasar yang sedang tumbuh. Meskipun saat itu terdapat sebuah anggapan “siapa yang ingin membuka toko buku, itu ibaratnya sama saja dengan membuang uang ke sungai Nil”. Namun, sekarang situasi bisnis buku ini berubah positif.
Di Mesir muncul beberapa karya dan sastrawan ternama diantaranya “Roman Azazeel karya penulis Mesir Jussuf Ziedan. Kemudian “Buku kumpulan puisi Tannoura karya Penyair muda Samar Ali. Diikuti buku karya Paulo Coelho, Khaled Hosseini dan “Change we can in” yang ditulis Barack Obama.
El-Mougy, salah seorang penulis yang menjadi panutan para mahasiswi dan penulis muda perempuan yang neraliran feminis dan sering menyerukkan kemandirian perempuan tidak hanya dalam hal intelektual tapi juga seksual, ia membenarkan bahwa kesusasttraan Mesir sejak beberapa tahun terakhir ini kembali berkembang. Hal yang tak kalah pentingnya lagi adalah kebebasan relative yang sengaja diberikan pemerintah kepada para penulis. Namun Sahar El-Mougy tidak berharap banyak pemerintah menggunakan kami sebagai alih-alih, untuk menunjukkan bahwa mereka Liberal. Kebebasan berakhir ketika kami mulai mnegkritik pemerintah”.
Dalam kesusastraan Mesir sering merujuk pada tatanan situasi social masyarkat. Hal tersebut dapat ditemukan dalam salah satu karya sastra Mesir yang terkemuka yang berjudul “Taxi” karya Khaled Al-Khamissi. Dalam buku ini, penulis seolah menyinari masyarakat Mesir, hal tersebut tercermin pada cerita-cerita yang dialami seorang pengemudi taxi di jalan. Supir Taxi adalah barometer bagi situasai social masyarakat. Contohnya, di Kairo saja ada 250 ribu pengemudi taxi, pengemudi taxi bukanlah suatu pekerjaan, tapi cenderung sebagai aktivitas sampingan atau sambilan.
"Banyak penganggur mengemudi taksi, hingga mereka mendapatkan pekerjaan tetap. Ada seorang pegawai pemerintah yang pagi hari berada di kantor, dan sorenya mengemudi taksi. Pengemudi taksi berasal dari berbagai kelompok profesi dan lapisan
sosial," tutur al-Khamissi.
Al-Khamissi menggarisbawahi, bukunya bukanlah karya jurnalistik atau sosiologi, namun fiksi belaka. "Saya ingin menceritakan cerita yang mewakili masyarakat Mesir, seperti yang terjadi ratusan kali setiap harinya."
Salah satu ceritanya adalah seorang perempuan muda bercadar yang naik taksi di kawasan miskin dan ganti baju di dalam taksi. Setibanya di tujuan, hotel bintang empat, di mana perempuan itu bekerja sebagai pelayan, dia meninggalkan taksi dengan dandanan yang sangat berbeda, penuh solekan dan mengenakan rok mini. Cerita-cerita taksi ini dipaparkan dengan runut dan dengan alur cerita sederhana. Oleh sebab itu berkesan menenangkan dan otentik.
Selain itu, sastra sangat berkembang pesat di Francis. Salah satunya adalah tempat yang paling bersejarah yaitu kafe.
Kafe-kafe (maqha) bertebaran di seluruh Mesir. Bukan sekadar tempat santai. Revolusi rakyat pun digodok dari kedai-kedai ini. Belasan karya sastra utama juga lahir dari sana. Aliansi tokoh Kristen Koptik dan ulama Al-Azhar sempat tergalang di Kafe El-Fishawi. Para ulama dan darwisy sufi juga punya pangkalan maqha tersendiri. Minum kopi biar bisa zikir tahan lama.
Angka 1919 adalah angka keramat bagi rakyat Mesir. Bilangan ini mewakili peristiwa paling heroik dalam sejarah negeri itu: revolusi tahun 1919. Ketika itu, gelombang revolusi rakyat Mesir menggulung kolonialisme Inggris. Tahun yang sama, warga Mesir mengangkat tokoh pujaan mereka, Saad Zaghlul, sebagai perdana menteri pertama. Tapi, tak banyak yang tahu tempat asal cita-cita revolusi 1919 itu mulai dibangun. Revolusi rakyat tersebut ternyata lahir dari bangunan sederhana di bundaran Atabah, muara Jalan Muski, Kairo. Di tempat itu sebagian warga melepas lelah, ngobrol, dan minum kopi. Kedai kopi? Ya! Revolusi itu dimulai dari kedai kopi bernama Maqhâ (Kafe) Mitatia.
Spirit revolusi itu tertanam jauh sebelum 1919. Pada penghujung abad ke-19, di Kafe Mitatia, sosok lelaki asing separuh baya hadir menarik perhatian banyak orang. Pria itu lahir di Afghanistan, belajar di Persia (Iran), dan punya hobi melanglang buana. Ia telah menjelajah India, Turki, Suriah, dan terakhir di Mesir.
Kumis dan janggut berjuntai menutupi bagian bawah wajah pria itu. Gaya bicaranya meledak-ledak. Terkadang keluar kata-kata keras dan tajam dari bibir yang tidak pernah lepas menyedot pipa shisha –rokok Arab bertabung dan berpipa panjang– itu. Asap shisha meliuk-liuk dipermainkan angin menerpa wajah orang-orang sekitarnya.
Kata-kata keras sosok asing itu belakangan mampu membakar semangat rakyat Mesir untuk melawan penjajahan Inggris. Orang-orang yang biasa memanggilnya, Syekh Jamaluddin. Lengkapnya –karena ia berasal dari Afghan– Syekh Jamaluddin al-Afghani. Di kafe Mitatia, 20-an orang selalu setia menyimak kata-katanya.
Di antara hadirin itu hampir selalu tampak seorang pria lulusan Al-Azhar bertubuh pendek, berkumis, dan berjenggot. Namanya Muhammad ‘Abduh. Kelak, Abduh dikenal sebagai murid setia Syekh Jamaluddin dan salah seorang pelopor pembaruan keagamaan serta mufti Mesir ternama.
Selain Abduh, ada dua sosok lelaki lain yang rajin hadir. Pertama, Abdullah al-Nadim yang nantinya dijuluki Khathîb al-Tsawrah (Orator Revolusi 1919). Yang kedua, yunior Abduh di Al-Azhar, bernama Saad Zaghlul. Kelak Zaghlul-lah yang menjadi tokoh utama revolusi 1919 dan perdana menteri pertama Mesir
Al-Nadim dan Zaghlul sama-sama dikenal sebagai “singa panggung”. Pengaruh sang guru, Syekh Jamaluddin, tertanam kuat dalam jiwa mereka. Selain nama-nama besar tersebut, masih ada tokoh revolusi 1919 lain yang juga setia mengikuti “halaqah kafe” Syekh Jamaluddin. Yaitu, Mahmud Sami al-Barudi.
Cerita itu bukanlah kabar burung, atau sekadar kisah dari mulut ke mulut. Tapi tercantum dalam buku Ayyam laha Tarikh (Hari-hari yang Memiliki Sejarah), karya terpenting sastrawan Mesir, Ahmad Bahauddin. Revolusi 1919 yang dahsyat ternyata berasal dari pojok kafe sederhana. Kafe ternyata memiliki kekuatan mengubah jalan sejarah.
Pengaruh kafe di Mesir tak hanya dikenal dalam bidang politik. Sastrawan Mesir peraih Nobel 1988, Naguib Mahfouz, juga lebih banyak menghabiskan waktunya dari kafe ke kafe. Tidak ada kafe ternama yang belum disinggahi Naguib.
Penyanyi legendaris Ummu Kultsum juga terbiasa nongkrong di kafe. Setiap lepas show, Ummi Kultsum berdialog dengan fansnya di kafe untuk menanyakan kesan dan kritik mereka. Saat ini Ummi Kultsum diabadikan menjadi nama sebuah kafe yang sering ia kunjungi.
Kafe adalah saksi sejarah, forum diskusi, dialog, dan debat tokoh-tokoh Mesir sejak dulu. Bagi rakyat Mesir, kafe adalah “miniatur negara” karena segala persoalan negara, dari politik, ekonomi, sosial, sastra, dan budaya, dibahas di kafe. Konon, kafe juga menjadi tempat titik tolak revolusi pemuda di Prancis tahun 1968.
Di Mesir, sosok kafe seperti ini baru dikenal pada zaman pemerintahan Turki pada 1517. Sebelumnya, memang ada beberapa tempat yang sering dijadikan tempat kumpul masyarakat Mesir, seperti pasar dan masjid. Tetapi untuk kegiatan seni, sastra, dan budaya, pasar terlalu gaduh dan masjid terlalu sakral.
Aktivitas di kafe juga beragam. Mulai mendengarkan musik, syair, dongeng rakyat, hingga merayakan ritual keagamaan seperti Maulid Nabi. Alkisah, Syekh Al-Bakri, seorang syekh tarekat di kawasan Azbakia, selalu mengadakan perayaan maulid Nabi di salah satu kafe. Konon, penguasa Mesir saat itu, Napoleon Bonaparte juga rajin hadir.
Ada juga kafe khusus ulama Al-Azhar, Mesir. YANG menarik, para pengajar dan ulama Al-Azhar juga punya kafe khusus. Namanya, Kafe Afandia. Kisah kafe ini terungkap dari korespondensi Abdullah Fikri Pasha yang berada di Turki dengan Syekh Utsman Haddukh, seorang pengajar Ilmu Nahwu di Al-Azhar.
Surat bertanggal 5 Jumadal Ula 1288 H (1870 M) itu menceritakan kerinduan Fikri Pasha minum kopi dan ngobrol di Kafe Afandia, dekat Masjid Al-Azhar. Sepulang dari Turki, Abdullah Fikri Pasha sempat menjabat Menteri Pendidikan Mesir. Meski Kafe Afandia tak bisa ditemukan lagi, namun kafe Afandia dikenal sebagai pelopor kafe sastra.
Kehidupan seni dan sastra juga berkembang di kawasan ini. Pelajar, ulama, dan syekh al-Azhar memiliki kafe tersendiri untuk berdiskusi. Para darwisy sufi juga memiliki kafe khusus yang bernama Kafe Wali Ni’am yang berdiri hingga sekarang. Tokoh tarekat Syekh Sholih al-Ja’fari juga sering nongkrong di kafe ini sepulang dari Masjid Husein
Pada awal abad ke-20, Kafe El-Fishawi menjadi primadona. Tokoh besar Mesir seperti Syekh Jamaluddin Al-Afghani, Umar Makram, Syekh Al-Basyari, dan Abdullah al-Nadim sering terlibat diskusi hangat di kafe ini. Raksasa sastra Mesir, Naguib Mahfouz –pemenang Hadiah Nobel Sastra 1988– juga mulai membentuk pola pikir dan tulisannya di kafe ini.
2. Aljazair
Karya-karya sastra Aljazair modern banyak yang dipengaruhi oleh iklim perang kemerdekaan melawan Perancis. Namun sekaligus timbul paradoks, yakni banyak sastrawan negera di Afrika Utara ini yang menulis karya-karya sastranya dalam bahasa Perancis dan gaya penulisannya pun tidak jauh berbeda dengan gaya pengarang Perancis. Bahkan pemikir dan ulama Aljazair terkemuka, MALIK BIN NABI, menulis pikiran keagamaannya dalam bahasa Perancis. Beberapa karya sastra Aljazair ada yang sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.
Jika kita melihat pada sejarah. Hal itu terjadi karena Aljazair sendiri, mulai tahun 1830, menjadi jajahan Prancis hingga merdeka pada 3 Juli 1962. Setahun kemudian, Bella terpilih sebagai presiden hingga dua tahun kemudian digulingkan Boumedienne.
Kuatnya pengaruh kolonialisme Prancis terlihat dari bahasa Prancis yang menjadi pengantar selain bahasa Arab. Aspek sosial dan budaya juga memperoleh pengaruh kuat dari Prancis, selain Islam. Sastrawan Prancis terkemuka peraih nobel, Albert Camus, juga dilahirkan di Aljazair.
Sejak zaman revolusi, rezim yang berkuasa ingin membangun sebuah negara sosialis Islam Arab dan secara ketat mengawasi kehidupan beragama. Begitu mendarat di Aljazair, bangsa Prancis langsung berupaya mengeliminir budaya Islam dalam masyarakat Aljazair. Padahal berdasarkan hukum Islam, tidak dibenarkan kaum non-muslim menguasai kehidupan umat Islam dalam waktu permanen.
Pada awal tahun 1964 terbentuklah kelompok gerakan Islam bernama Al-Qiyam, yang merupakan embrio dari Front Penyelamat Islam (Islamic Salvation Front) yang muncul tahun 1990-an. Al-Qiyam menuntut dominasi Islam secara luas di Aljazair baik pada sistem hukum dan perpolitikan negara, dan menentang praktik budaya barat yang tumbuh di masyarakat.
Gerakan perlawanan dari kelompok Islam kian intensif pada tahun 80-an. Tuntunannya antara lain agar masyarakat meninggalkan budaya barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, mempertanyakan legitimasi ajaran Marxis oleh pemerintah Aljazair dan menuntut pembentukan Republik Islam dengan Alquran sebagai sumber hukum negara. Setelah terjadinya konfrontasi berdarah.
Aljazair adalah sebuah negeri di Afrika Utara yang boleh dikatakan asing bagi kebanyakan kita. Novel Ali Ghalem, Istri untuk Putraku, memberikan gambaran dan uraian yang sangat tajam mengenai beberapa segi kebudayaan dan pengalaman bangsa itu. Lewat novel itu kita bisa mengenal tata cara perkawinan yang sama sekali asing bagi kita. Dalam novel itu juga diungkapkan berbagai masalah sosial dan budaya yang menyangkut masyarakat lapisan bawah; bahkan secara tersirat muncul juga masalah hubungan antara Aljazair dan Perancis, negeri Eropa yang pernah menguasainya. Beberapa adegan dalam novel itu digambarkan begitu tajam sehingga sulit lepas dari ingatan kita, seperti misalnya adegan yang menggambarkan tradisi pemeriksaan keperawanan bagi gadis yang akan nikah. Juga adegan malam pertama pengantin. Dalam karya Ali Ghalem itu kita juga menemukan berbagai segi masalah pendidikan, hak wanita, dan hubungan-hubungan antaranggota keluarga dan antarkeluarga.
Sehabis membaca novel itu, kita merasa seolah-olah tahu sangat banyak mengenai masyarakat suatu negeri yang sebelumnya sama sekali asing. Kita menimbang-nimbang berbagai hal yang sama dan tidak sama dengan dunia dan masyarakat kita sendiri. Kita menjadi lebih kaya. Bahkan tidak jarang kita merasa menjadi orang yang tahu banyak mengenai sosiologi dan psikologi masyarakat dan orang Aljazair, tanpa pernah ikut kuliah kedua ilmu itu. Memang tidak benar jika dikatakan kita telah menjadi pakar sosiologi dan psikologi masyarakat Aljazair hanya dengan membaca sebuah novel, namun tidak keliru jika dikatakan bahwa kita telah memahami dan menghayati beberapa segi dunia pengalaman orang Aljazair, lengkap dengan tanggapan sastrawan terhadapnya.
3. Maroko
Krisis politik, ekonomi, sosial dan pemikiran yang sedang melanda Maroko pada awal abad 19 sungguh telah menjadikan Maroko sebagai negara yang sedang gonjang-ganjing. Multi krisis itu disebabkan olehberbagai peperangan yang terjadi di berbagai kota di Maroko, seperti di Tetouan yang disebut perang Tetouan, perang Isli dan penjajahan Jazirah oleh Prancis yang merambat Maroko. Sejarawan Maroko Ahmad bin Kholid an-Nashiri mengatakan, bahwa "berbagai perang yang terjadi di Maroko telah memecah belah persatuan, khususnya umat Islam, di mana perang ini belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, bahkan peperangan itu memunculkan berbagai kerusakan". Kerusakan yang dimaksud oleh Ahmad Nashiri diperjelas oleh Ustad Dr. Muhamad Abdul Hafid Genoun Hasani: "penjajahan yang terjadi di Maroko bukanlah sekedar penjajahan politik, tetapi merupakan penjajahan agama, sosial, bahasa dan budaya.
Penjajahan pemikiran dan agama memiliki dampak yang sangat besar bagi umat dibanding penjajahan-penjajahan lainnya, karena penjajah tertuju pada keyakinan umat yaitu agama, persatuan, bahasa dan pemikiran, serta berusaha untuk menguasai gerak ulama sehingga dapat dengan mudah menutup aliran ilmu, bahasa dan berbagai pengetahuan". Dalam kondisi yang terdesak dan mengkhawatirkan kehidupan itu, para penyair Maroko terdorong untuk menggubah puisi kepahlawanan dan perjuangan. Abbas Jarari mengatakan: "Penyair pada masa itu dianggap sebagai seniman yang dapat menciptakan karya seni karena pengaruh alam, lingkungan dan perasaan".
Di sisi lain, kondisi perpolitikan dan kemasyarakatan yang tidak menentu itu, menimbulkan kejumudan pemikiran Maroko yang mengakibatkan masyarakat semakin tidak mendapat perhatian pendidikan baik dari kerajaan, maupun dari ulama-ulama setempat, sehingga kondisi yang ada adalah masyarakat semakin menjauh dari agama islam, timbul bid'ah dan khurafat, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Ibrahim Sulami, "maka bertambahlah kejumudan budaya seperti pada masa lalu, ditambah lagi dengan belum adanya majalah dan koran, dan alat cetak yang masih sangat sederhana sehingga tidak dapat untuk mencetak buku serta menyebarkanya ke khalayak umum, bahkan perhatian kerajaan kepada penulis dan penyair yang sangat memperihatinkan". Sampai kita temukan puisi yang berbunyi : Anjing dan Penyair itu satu derajat Sugguh beruntung, tidak menjadi penyair Kondisi yang demikian itu tentunya mempengaruhi perkembangan sastra arab Maroko, dimana perkembangan sastra Maroko pada saat itu menjadi sempit jangkaunya, yaitu tidak lebih dari sekedar menghafal puisi-puisi dan mengenal penyair-penyair arab terdahulu serta tidak lebih dari usaha pamer dalam penggunaan bahasa arab dengan ilmu balaghoh dan nahwu, bahkan masyarakat beranggapan, bahwa penguasaan pada puisi arab tak lebih dari sekedar batas tingkatan tingginya ilmu bagi seorang ulama.
Dalam hal ini Ilal Fesi mengatakan: "perkembangan sastra arab masa-masa ini berkaitan dengan ilmu-ilmu bahasa, seperti balaghoh dan nahwu, di mana penggunaanya tidak lebih hanya sekedar wasilah untuk menyombongkan diri, bahwa seorang penyair adalah kelompok yang memiliki bahasa indah, ungkapan kata yang lembut, pemilihan diksi yang sesuai, dsb, secara umum puisi Maroko pada masa ini adalah sebuah ukuran tingkatan tertinggi seorang ulama". Dengan demikian, kita melihat bahwa perkembangan sastra arab di Maroko pada abad 19 ini merupakan pertunjukan seorang ulama di dalam menggunakan bahasa arab yang fasih dan indah, bahkan lebih dari itu, bahwa puisi arab Maroko hanyalah sebagai wasilah untuk menjadikan diri seorang penyair menerima penghargaan karena bahasanya yang indah dan untuk dapat menerima pangkat atau jabatan, hal ini dapat kita buktikan dari puisi Abdurrahman bin Zidan yang berbunyi : Wahai raja, puisi adalah kumpulan hikmat Yang dapat bermanfaat bagi orang kaya, berkedudukan dan pejabat. Ahmad Thoraisy menambahkan, bahwa "Penyair yang menggubah puisi pada masa ini bukanlah penyair yang pada hakikatnya memiliki pemahaman bagaimana cara menggubah dan melantunkan puisi, namun mereka adalah para ulama ahli agama yang memasuki dunia sastra dari pintu belakang dan mereka tidak memiliki tujuan kecuali untuk berpuitisasi, memamerkan bahasa dan mencari hal yang baru dalam bahasa, dsb". Dr. Abbas Jarari memperkuat pernyataan di atas, beliau mengatakan : "Sastra Maroko pada masa ini sungguh sangat lemah, tidak memiliki kualitas dan ia tidak berhak untuk dikembangkan, tidak boleh untuk menjadi bahan penelitian, tidak dapat dipercaya, tidak mengandung sajak dan intonasi yang benar dan topic pembahasannya sangat privasi seperti memuji seserang, memuji alam dan menganggap baik perkumpulan-perkumpulan hura-hura, kalaupun lebih, maka tak lebih dari sekedar memuji sahabat dan beberapa puisi yang digubah berdasarkan peristiwa yang semuanya itu mengacu pada kebiasaan-kebiasaan jelek penyair arab jahily". Sehingga dengan demikian, Ustad Abdullah Genoun menyebut masa ini dengan masa kejumudan, seperti dalam pernyataanya: "dengan demikian, perkembangan pemikiran dan sastra Maroko stagnan, baik dari segi materinya, maknanya ataupun uslubnya". Namun menurut ustad Abbas Jarari, jika puisi arab mengandung kumpulan karya sastra arab secara menyeluruh, maka puisi maroko pada masa ini adalah kumpulan sejarah Maroko saja, karena ia hanya menyebutkan kejadian-kejadian bersejarah yang dilalui oleh Maroko selama masa ini, beliau mengatakan : "Sekalipun sastra Maroko adalah kumpulan kata-kata indah dan sejarah yang tidak memiliki sajak yang benar, maka dari sisi bagaimana menyampaikan sebuah peristiwa, puisi maroko telah memberikan bahan yang sangat subur bagi perkembangan sejarah Maroko".
Dalam kondisi yang demikian itu, pada pertengahan abad 19 muncul sebuah gerakan salafiyah yang menyeru kepada agama islam dengan memerangi bi'dah dan khurafat yang komandoi oleh Syaikh Abu Syuaib ad-Dakkali dan dilanjutkan serta disebarkan oleh Syaik Muhamd bin al-Arabi al-Alawi, Abdullah Genoun dan Ilal Fasi. Gerakan salafiyah ini sedikit membawa kemajuan bagi perkembangan sastra arab di Maroko, diantaranya terlihat pada munculnya alat percetakan yang dibawa oleh Idris bin Muhamad Idris al-Imrowi sepulang dari Paris tahun 1859 dan juga alat percetakan yang dibawa oleh Muhamad Thoyib al-Susi al-Rudani sepulang dari haji melewati Mesir pada tahun 1865. Lantas muncul pertanyaan, jika Maroko telah berusaha untuk keluar dari multi krisis pada dua pemerintahan, pemerintahan Muhamad Abdurrahman dan Hasan I yang nampak pada berbagai usaha seperti pengiriman delegasi ilmiah ke Mesir dan Eropa, pembaharuan sistem perkantoran, memajukan pendidikan, membina tentara, mengembangkan perdagangan, dan merevisi system negara dari berbagai segi, memasukkan alat cetak dan munculnya koran pada tahun 1889, namun, kenapa Maroko tidak juga sampai pada perkembangannya dibidang sastra? Sesungguhnya, perang Tetouan, Perang Rif dan perpecahan di Maroko sebelah selatan dan Atlas telah memberikan pengaruh tersendiri bagi perkembangan sastra Maroko, khususnya hubungan sastra dengan politik dan hubungan politik dengan sastra. Perkembangan yang terjadi dibidang percetakan dan koran pun juga telah memiliki andil yang besar dalam mencetak peta-peta pemikiran para pemuda yang saat itu terpengaruh oleh sastra arab dari timur tengah yang sedang maju yang dimotori oleh Mahmud Sami Barudi, Hafid Ibrahim dan Ahmad Syauqi, sehingga sastra Maroko semakin menyamai puisi arab zaman jahily, baik dari segi bentuknya, pemaparanya dan sajaknya. Di mana bentuk yang demikian ini merupakan referensi utama untuk menuju pada penggubahan puisi arab yang benar. Perjalanan ke arah kemajuan sastra Maroko tidak hanya di situ, dari segi bahasa, terdapat perkembangan juga yaitu lebih mudah dipahami dan merakyat, dari segi bentuk kebanyakan sama dengan bentuk puisi lama sekalipun tidak semua, dan dari segi topic, terjadi kemajuan yang sangat besar, misalnya topicnya lebih meluas, seperti topic tentang jati diri, romance, peristiwa-peristiwa politik, social, pemikiran yang kontemporer dsb.
4. Libya
Beberapa Penyair dan pujangga Libya, diantaranya Ibrahim Al-Astha Omar (1908-1950), para sastrawan Libya antara lain, Rashid Zubeir, Azab Rakabi, Mohamed Mehdi, Haniyah Kadiki, Ragab Majiri, Rihab Sneib, Isham Farjani dan Abdul Hamid Bathaw, budayawan Libya, Ali Moustafa al-Misurati (diambil dari nama kota Misurata, - kota ketiga terbesar di Libya, setelah Tripoli dan Benghazi dengan cerpennya ‘Abdel Karim Tahta al-Jisr’ [Abdel Karim..dibawah Jembatan], terbitan al-Muassasah al-Arabiyah li al-Nasyar wa al-Ibda’, Casablanca, Maroko, disamping novel ‘Khirrijaat Qaryunes’ (Cewek-cewek Alumni Universitas Qaryunes), karya Aisha al-Ashfar, terbitan Dar al-Kutub al-Wathaniyah, Benghazi, Libya).
Ibrahim Al-Astha Omar dilahirkan di kota Darnah pada tahun 1908, dan bekerja di Bagian Bea dan Cukai. Kemudian ikut tes masuk kepegawaian kehakiman dan diangkat sebagai Hakim. Sempat memimpin cabang ’Jam’iyah Omar Mukhtar’ (Organisasi Omar Mukhtar) di kota kelahirannya Darnah. Kemudian dia mengembara dan merantau ke Mesir, Syria, Irak dan Jordania Timur. Di negeri-negeri tersebut, dia bertemu dan bergumul dengan tokoh sastrawan dan budayawan negara tersebut, disamping dia menjadi anggota Komite Pembela Barqa dan Tripoli di Damaskus. Pada tahun 1967 dia menerbitkan ontology puisinya, berjudul, ‘al-Bulbul wa al-Wakar’. Sastrawan dan budayawan Ali Moustafa al- Misurati juga menulis tentang Ibrahim A. Omar dengan judul, ‘Syair min Libya…Ibrahim Al-Astha Omar (Penyair dari Libya….Ibrahim A. Omar), terbit pada tahun 1957. Dia meninggal pada tanggal 26 September 1950.
Menurut Dr. Shaeed Abou Deeb bahwa Ibrahim A. Omar termasuk diantara penyair yang awal-awal merespon ‘al-Mahgar School’ dalam syair dan sastra ( salah seorang tokoh penyair ‘al-Mahgar School’ adalah Gubran Khalil Gubran, yang di Indonesia dikenal dengan ‘Kahlil Gibran, yang sebenarnya adalah nama ayahnya, penyair asal Lebanon yang menetap di AS. Dalam konteks ‘al-Mahgar School’ terdapat dua aliran, yaitu aliran Amerika Utara yang berpusat di AS, sekarang dan kedua aliran Amerika Latin yang berpusat di Brazilia). Respon tersebut nampak pada karya syair dan perenungannya melalui kontemplasi pergumulan dengan persoalan kemanusiaan dan kebebasan (al-insaniyah wa al-hurriyah). Ibrahim tercatat dalam sejarah dan biografinya, suatu sikap dan ekspresi nasionalisme yang dipertahankan dan, bahkan diperjuangkan hingga akhir hayatnya, seperti tema-tema, kebenaran (truth), kebebasan dan cinta tanah air. Hal ini yang membuat karya-karya kepenyairannya senantiasa up to date dan perennial.
Menurut Dr. Omar Khalifah bin Idris, Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Qaryunes, Benghazi, Libya, bahwa Ibrahim A. Omar adalah seorang penyair sebagaimana penyalir lainnya, yang menulis berbagai tema kehidupan dan terlibat serta bergumul di dalamnya tentang kehidupan tersebut. Sedangkan tema nasionalisme dan idealisme, dsb, merupakan pintu gerbang keterkaitan dan ketersambungan sang penyair antara ‘wujdan’ dengan pembacanya. Romantika keindahan dan kepenyairannya, menurut penyair Mohamed al-Faqih Saleh, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, romantisme-nasionalisme yang erat hubungannya dengan persoalan ‘wujdaan’ dalam kerangka penggempuran terhadap kejumudan, status quo, berjihad dan melawan keputusasaan. Kedua, kecenderungan tradisional yang berhubungan dengan kembalinya ‘si anak hilang’ ke pangkuan ibu pertiwi Libya setelah mengembara ke barbagai negara Arab dan keikutsertaannya pada pergerakan politik nasional, baik sebagai tokoh dan pemimpin pada sebagian gerakan melalui ‘Jam’iyah Omar Mukhtar’, sehingga kepenyairannya merefleksian – pada awalnya – kerinduan pada ‘wujdan dan zat’; kemudian melebar pada tema tradisonal – persoalan kehidupan umum masyarakat luas. Sedangkan menurut Dr. Nagia Maulud Kailani, dari Departemen Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Al-Fateh, Tripoli mengatakan bahwa tema besar kepenyairan Ibrahim A. Omar mengungkapkan berbagai paradoks persoalan, akan tetapi secara umum yang menjadi tema utamanya adalah persoalan kemanusian dengan berbagai aspek pergumulannya. Manusia yang mengalami ‘humuum’ kehidupan dan juga ‘humuum’ orang lain.
5. Sudan
Sastra Sudan kontemporer baru-baru ini mencakup berbagai macam satra lisan dan tulisan. Sebelum novel dan cerpen dikenal sebagai genre-genre sastra, sastra sudan berbentuk cerita-cerita dan puisi-puisi lisan. Kebanyakan sampai saat ini, diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebanyakan dari cerita-cerita itu menggambarkan berbagai prestasi seseorang dan berbagai peperangan yang terkenal, atau berhubungan dengan kehidupan para pahlawan dari Arab zaman dulu. Beberapa diantaranya memiliki tema-tema religius dan berpusat seputar perbuatan baik dan keberanian yang telah diakui, sebaik yang ada di daerah setempat, figurasi dan mistis religi.
Salah satunya sebagai figurasi dari khalifah keempat, Ali bin abi Thalib, sepupu dan anak angkat Nabi Muhammad, dikenal dengan Sirat Ali Al-Karrar (The Life of Ali The Hero). Kebanyakan cerita-cerita lisan banyak dibubuhi dan dilebih-lebihkan, menggambarkan karakter-karakter utama sebagai seseorang yang gagah berani. Ada pula cerita-cerita yang menggambarkan kehidupan sosial orang Sudan baik yang ada di perkampungan maupun yang ada di daerah kota.
Cerita-cerita dalam karya itu yang memiliki sebuah tema sekuler disebut dengan “Ahaji”. Mereka biasanya di sebut sebagai angggota-anggota komunitas yang lebih tua, kebanyakan di tempat-tempat pedesaan dimana pendidikan dibatasi and ritma kebiasaan hidup lebih santai. Mereka tanpa terkecuali mempunyai cerita akhir yang membahagiakan, adapula cerita mengenai takhayul yang menggambarkan kekuatan magis jin dan raksasa. Salah satu dari cerita “Ahaji” itu ialah cerita Fatima Al-Samha (Beautiful Fatima), Gadis tercantik di sebuah desa.
Fatima mempunyai banyak peminang yang semuanya tidak diinginkannya. Suatu hari dia diculik oleh seorang raksasa dan di kurung. Ketika berita penahanannya sampai pada seorang pangeran muda yang tampan, dia memutuskan untuk menyelamatkannya dari raksasa. Fatima dan pangeran itu saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Cerita Fatima yang cantik berlanjut terkenal sampai sekarang.
Beberapa cerita di bentuk dalam bentuk puisi, termasuk petualangan Hambata, kawanan perampok yang berkelana di padang pasir Sudan. Walaupun mereka adalah orang-orang yang hidup diluar perlindungan hukum, Hambata telah di abadikan sebagai orang-orang yang berani dan memegang teguh kode etik di kota mereka. Mereka dapat dibandingkan dengan Arsin Lupin atau Robin Hood di Barat, dan Saalik, atau Penyair buangan pada Arab sebelum Islam yang hidup diluar perlindungan hukum, juga para perampok, mereka yang menulis puisi untuk mengkritik kondisi sosial di kota yang memboikot mereka dan membuat mereka terbuang. Tipe cerita bentuk puisi lain di miliki oleh “Madih”, atau genre “Praise” (pujian). Ditulis dalam bentuk pujian pada Nabi, puisi-puisi “Madih” khususnya terkenal di Sudan Utara.
Masa transisi dari saatra lisan ke tulisan, yang terjadi di awal abad modern, dihasilkan oleh hadirnya mesin cetak (percetakan). Banyak contoh cerita-cerita terkenal dan puisi-puisi yang dibacakan secara lisan secara bertahap menemukan jalannya untuk dicetak di beberapa Koran pertama Negara. Salah satu dari Koran yang pertama dicetak adalah “Jaridat Al-Sudan” (Sudan News), yang pertama kali di cetak pada tahun 1930. Itu merupakan sebuah Koran mingguan, yang dipublikasikan dalam dua bahasa yaitu bahasa Arab dan Inggris. Pengaruh dari Koran ini pada sastra Sudan sangat kecil, karena para editornya hanya menerbitkan materi-materi yang diizinkan oleh yang berkuasa. Beberapa artikel itu pertama kali ditulis dalam bahasa Arab dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga orang-orang Inggris dapat memahami apa yang ditulis di dalamnya. Hal itu semestinya ditunjukkan bahwa Sudan pada pergantian abad berada dibawah kekuasaan Anglo-Egyptian yang berakhir pada tahun 1899 hingga 1953 ketika Negara itu memiliki pemerintahan mandiri, mendapatkan kemerdekaan penuh pada tahun 1956. “Jadirat Al-Sudan”, karena itu, kurang lebih merupakan tulisan-tulisan kenegaraan. Memiliki bentuk formal dan secara tetap melaporkan berita-berita dari sudut pandang mereka yang berkuasa.
Koran pertama yang memeiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan sastra Nasional adalah “Al-Raid” (The Pioneer), yang muncul pada tahun 1914 sebagai sebuah Koran mingguan dan memasyarakat. “Al-Raid” dikemukakan oleh saudagar Yunani yang mengatur lembaga percetakan di ibu kota Sudan, Khartoum, untuk mencetak Koran Yunani.
Beberapa orang dari para intelektual Sudan, merasa bahwa mereka perlu mempublikasikan sastra dalam bahasa Arab, mereka mendekati saudagar Yunani itu dan memintanya mulai menerbitkan koran dalam bahasa Arab. “Al-Raid” diubah oleh beberapa pergantian generasi sastrawan, diantaranya seorang hakim dan sastrawan mesir Yusuf Wahbi dan akademisi Syria Fouad al-Khatib yang mempelajari bahasa Arab di Gordon College di Khartoum.
Salah satu dari penulis yang terkenal di Sudan adalah Al-Tayyib Salih. Dia menulis berbagai novel dan cerpen. Karyanya yang paling terkenal “Season of Migration to the North” diterbitkan pada tahun 1967, isinya mengenai kembalinya para pelajar Sudan dari Inggris. Karya ini awalnya ditulis dalam bahasa Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis.